Pages

Kamis, 03 Oktober 2013

Sekolah Kartini




Sekolah kartini? Ciee, muridnya Kartini, cie, emansipasi wanita banget. Bukan, bukan itu. Ceritanya nih  kenapa saya bisa nulis postingan di jam sekolah,beruntungnya hari ini saya lagi dalam kondisi fisik yang sangat buruk, seburuk cuaca di Malang. Bayangin, karena suatu virus yang menyebar melalui udara (baca:pilek) dan sesuatu yang saya tahan di kepala ( baca:pusing) menyebabkan saya harus di kamar saat ini, dengan kartini. Kartini, men (read:Putri) tapi ini suasana kamar saat ini sangat creepy, bayangin, Putri di atas bed sedang merajut mimpi dan saya mati kebosanan. Sumpah, ini membuat saya semacam frustasi. Di kamar yang cukup luas, penghuninya cuma dua dan yang hidup hanya satu orang. Akhirnya saya menulis postingan ini.

Oke, kembali ke topic. Kenapa ini judulnya Sekolah Kartini? Ini penyebabnya sepulang bimbel dan harus menyusuri jalan Bandung yang amat panjang kemarin, saya memikirkan betapa creepynya kelas saya yang isinya Kartini, nggak ada Kartono. Ketebak kan? Jadi, satu kelas isinya manusia – manusia yang diberi ilham oleh pencipta untuk memakai jilbab dengan warna yang sama, model yang sama. Ini diakibatkan madrasah saya lagi demam homogen. Alasannya untuk meminimalisir segala bentuk zina. Menurut buku Syekh Az-Zarnuji perbuatan zina dapat menyebabkan berkurangnya memori untuk mengingat pengetahuan. Karena pengetahuan atau ilmu itu adalah sesuatu yang suci. Bahkan, sebelum mempelajari ilmu-Nya kita dianjurkan untuk berwudlu, memuliakan yang memberi ilmu, dan memuliakan kitabanya. *mari kita tutup kultum ini*


Melihat kelas saya seperti kelas di sekolah Kartini, hal ini mengingatkan saya pada perjuangan Ibu Kartini dalam memperjuangkan pendidikan untuk wanita. 

Upaya dari puteri seorang Bupati Jepara ini telah membuka penglihatan kaumnya di berbagai daerah lainnya. Sejak itu sekolah-sekolah wanita lahir dan bertumbuh di berbagai pelosok negeri. Wanita Indonesia pun telah lahir menjadi manusia seutuhnya.

Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.

Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu.

Pada saat itu, Raden Ajeng Kartini yang lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879, ini sebenarnya sangat menginginkan bisa memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, namun sebagaimana kebiasaan saat itu dia pun tidak diizinkan oleh orang tuanya.

Dia hanya sempat memperoleh pendidikan sampai E.L.S. (Europese Lagere School) atau tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun dipingit sebagaimana kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku di tempat kelahirannya dimana setelah seorang wanita menamatkan sekolah di tingkat sekolah dasar, gadis tersebut harus menjalani masa pingitan sampai tiba saatnya untuk menikah.

Merasakan hambatan demikian, Kartini remaja yang banyak bergaul dengan orang-orang terpelajar serta gemar membaca buku khususnya buku-buku mengenai kemajuan wanita seperti karya-karya Multatuli “Max Havelaar” dan karya tokoh-tokoh pejuang wanita di Eropa, mulai menyadari betapa tertinggalnya wanita sebangsanya bila dibandingkan dengan wanita bangsa lain terutama wanita Eropa.

Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan sekolah sampai tingkat sekolah dasar saja padahal dirinya adalah anak seorang Bupati. Hatinya merasa sedih melihat kaumnya dari anak keluarga biasa yang tidak pernah disekolahkan sama sekali.

Sejak saat itu, dia pun berkeinginan dan bertekad untuk memajukan wanita bangsanya, Indonesia. Dan langkah untuk memajukan itu menurutnya bisa dicapai melalui pendidikan. Untuk merealisasikan cita-citanya itu, dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran alias cuma-cuma.

Bahkan demi cita-cita mulianya itu, dia sendiri berencana mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik. Beasiswa dari Pemerintah Belanda pun telah berhasil diperolehnya, namun keinginan tersebut kembali tidak tercapai karena larangan orangtuanya. Guna mencegah kepergiannya tersebut, orangtuanya pun memaksanya menikah pada saat itu dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang.

Berbagai rintangan tidak menyurutkan semangatnya, bahkan pernikahan sekalipun. Setelah menikah, dia masih mendirikan sekolah di Rembang di samping sekolah di Jepara yang sudah didirikannya sebelum menikah. Apa yang dilakukannya dengan sekolah itu kemudian diikuti oleh wanita-wanita lainnya dengan mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di tempat masing-masing seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon.

Sepanjang hidupnya, Kartini sangat senang berteman. Dia mempunyai banyak teman baik di dalam negeri maupun di Eropa khususnya dari negeri Belanda, bangsa yang sedang menjajah Indonesia saat itu. Kepada para sahabatnya, dia sering mencurahkan isi hatinya tentang keinginannya memajukan wanita negerinya. Kepada teman-temannya yang orang Belanda dia sering menulis surat yang mengungkapkan cita-citanya tersebut, tentang adanya persamaan hak kaum wanita dan pria.

Setelah meninggalnya Kartini, surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku yang dalam bahasa Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Apa yang terdapat dalam buku itu sangat berpengaruh besar dalam mendorong kemajuan wanita Indonesia karena isi tulisan tersebut telah menjadi sumber motivasi perjuangan bagi kaum wanita Indonesia di kemudian hari.

Apa yang sudah dilakukan RA Kartini sangatlah besar pengaruhnya kepada kebangkitan bangsa ini. Mungkin akan lebih besar dan lebih banyak lagi yang akan dilakukannya seandainya Allah memberikan usia yang panjang kepadanya. Namun Allah menghendaki lain, ia meninggal dunia di usia muda, usia 25 tahun, yakni pada tanggal 17 September 1904, ketika melahirkan putra pertamanya.

Mengingat besarnya jasa Kartini pada bangsa ini maka atas nama negara, pemerintahan Presiden Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

Seperti Ibu Kartini yang terus berjuang demi Negaranya, maka saya juga nggak mau kalah dengan beliau. Oke, mungkin belum banyak yang bisa saya berikan untuk bangsa ini. Tapi setidaknya selama saya belum bisa kasih solusi untuk bangsa ini, saya tidak menjadi masalah untuk bangsa ini. Saya akan menjadi warga yang baik, pelajar yang baik, tentunya yang berusaha bangun negeri ini.

NB : Baru sempet ngepost, padahal udah lama banget nulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar