Sekolah kartini? Ciee, muridnya
Kartini, cie, emansipasi wanita banget. Bukan, bukan itu. Ceritanya nih kenapa saya bisa nulis postingan di jam
sekolah,beruntungnya hari ini saya lagi dalam kondisi fisik yang sangat buruk,
seburuk cuaca di Malang. Bayangin, karena suatu virus yang menyebar melalui udara
(baca:pilek) dan sesuatu yang saya tahan di kepala ( baca:pusing) menyebabkan
saya harus di kamar saat ini, dengan kartini. Kartini, men (read:Putri) tapi
ini suasana kamar saat ini sangat creepy, bayangin, Putri di atas bed sedang
merajut mimpi dan saya mati kebosanan. Sumpah, ini membuat saya semacam
frustasi. Di kamar yang cukup luas, penghuninya cuma dua dan yang hidup hanya
satu orang. Akhirnya saya menulis postingan ini.
Oke, kembali ke topic. Kenapa ini
judulnya Sekolah Kartini? Ini penyebabnya sepulang bimbel dan harus menyusuri
jalan Bandung yang amat panjang kemarin, saya memikirkan betapa creepynya kelas
saya yang isinya Kartini, nggak ada Kartono. Ketebak kan? Jadi, satu kelas
isinya manusia – manusia yang diberi ilham oleh pencipta untuk memakai jilbab
dengan warna yang sama, model yang sama. Ini diakibatkan madrasah saya lagi
demam homogen. Alasannya untuk meminimalisir segala bentuk zina. Menurut buku Syekh
Az-Zarnuji perbuatan zina dapat menyebabkan berkurangnya memori untuk mengingat
pengetahuan. Karena pengetahuan atau ilmu itu adalah sesuatu yang suci. Bahkan,
sebelum mempelajari ilmu-Nya kita dianjurkan untuk berwudlu, memuliakan yang
memberi ilmu, dan memuliakan kitabanya. *mari kita tutup kultum ini*
Melihat kelas saya seperti kelas
di sekolah Kartini, hal ini mengingatkan saya pada perjuangan Ibu Kartini dalam
memperjuangkan pendidikan untuk wanita.
Upaya dari puteri seorang Bupati Jepara ini telah
membuka penglihatan kaumnya di berbagai daerah lainnya. Sejak itu
sekolah-sekolah wanita lahir dan bertumbuh di berbagai pelosok negeri. Wanita
Indonesia pun telah lahir menjadi manusia seutuhnya.
Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20,
wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan
dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang
tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan
lain sebagainya.
Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan
bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai
seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun
teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita
Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah
kebiasan kurang baik itu.
Pada saat itu, Raden Ajeng Kartini yang lahir di
Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879, ini sebenarnya sangat
menginginkan bisa memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, namun sebagaimana
kebiasaan saat itu dia pun tidak diizinkan oleh orang tuanya.
Dia hanya sempat memperoleh pendidikan sampai
E.L.S. (Europese Lagere School) atau tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S,
Kartini pun dipingit sebagaimana kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku di
tempat kelahirannya dimana setelah seorang wanita menamatkan sekolah di tingkat
sekolah dasar, gadis tersebut harus menjalani masa pingitan sampai tiba saatnya
untuk menikah.
Merasakan hambatan demikian, Kartini remaja yang
banyak bergaul dengan orang-orang terpelajar serta gemar membaca buku khususnya
buku-buku mengenai kemajuan wanita seperti karya-karya Multatuli “Max Havelaar”
dan karya tokoh-tokoh pejuang wanita di Eropa, mulai menyadari betapa
tertinggalnya wanita sebangsanya bila dibandingkan dengan wanita bangsa lain
terutama wanita Eropa.
Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan
sekolah sampai tingkat sekolah dasar saja padahal dirinya adalah anak seorang
Bupati. Hatinya merasa sedih melihat kaumnya dari anak keluarga biasa yang
tidak pernah disekolahkan sama sekali.
Sejak saat itu, dia pun berkeinginan dan bertekad
untuk memajukan wanita bangsanya, Indonesia. Dan langkah untuk memajukan itu
menurutnya bisa dicapai melalui pendidikan. Untuk merealisasikan cita-citanya
itu, dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah
kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit,
menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya tanpa memungut
bayaran alias cuma-cuma.
Bahkan demi cita-cita mulianya itu, dia sendiri
berencana mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya
bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik. Beasiswa dari Pemerintah Belanda
pun telah berhasil diperolehnya, namun keinginan tersebut kembali tidak
tercapai karena larangan orangtuanya. Guna mencegah kepergiannya tersebut,
orangtuanya pun memaksanya menikah pada saat itu dengan Raden Adipati
Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang.
Berbagai rintangan tidak menyurutkan semangatnya,
bahkan pernikahan sekalipun. Setelah menikah, dia masih mendirikan sekolah di
Rembang di samping sekolah di Jepara yang sudah didirikannya sebelum menikah.
Apa yang dilakukannya dengan sekolah itu kemudian diikuti oleh wanita-wanita
lainnya dengan mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di tempat masing-masing seperti di
Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon.
Sepanjang hidupnya, Kartini sangat senang berteman.
Dia mempunyai banyak teman baik di dalam negeri maupun di Eropa khususnya dari
negeri Belanda, bangsa yang sedang menjajah Indonesia saat itu. Kepada para
sahabatnya, dia sering mencurahkan isi hatinya tentang keinginannya memajukan
wanita negerinya. Kepada teman-temannya yang orang Belanda dia sering menulis
surat yang mengungkapkan cita-citanya tersebut, tentang adanya persamaan hak
kaum wanita dan pria.
Setelah meninggalnya Kartini, surat-surat tersebut
kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku yang dalam bahasa
Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Apa
yang terdapat dalam buku itu sangat berpengaruh besar dalam mendorong kemajuan
wanita Indonesia karena isi tulisan tersebut telah menjadi sumber motivasi
perjuangan bagi kaum wanita Indonesia di kemudian hari.
Apa yang sudah dilakukan RA Kartini sangatlah besar
pengaruhnya kepada kebangkitan bangsa ini. Mungkin akan lebih besar dan lebih
banyak lagi yang akan dilakukannya seandainya Allah memberikan usia yang
panjang kepadanya. Namun Allah menghendaki lain, ia meninggal dunia di usia
muda, usia 25 tahun, yakni pada tanggal 17 September 1904, ketika melahirkan
putra pertamanya.
Mengingat besarnya jasa Kartini pada bangsa ini
maka atas nama negara, pemerintahan Presiden Soekarno, Presiden Pertama
Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108
Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April,
untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai
Hari Kartini.
Seperti Ibu Kartini yang terus
berjuang demi Negaranya, maka saya juga nggak mau kalah dengan beliau. Oke,
mungkin belum banyak yang bisa saya berikan untuk bangsa ini. Tapi setidaknya
selama saya belum bisa kasih solusi untuk bangsa ini, saya tidak menjadi
masalah untuk bangsa ini. Saya akan menjadi warga yang baik, pelajar yang baik,
tentunya yang berusaha bangun negeri ini.
NB : Baru sempet ngepost, padahal udah lama banget nulis.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar