Pages

Kamis, 03 Oktober 2013

Belajar Nulis

Kisah Random
By : Saya

Back to you it always comes around, back to you…” walkman putih kecil berputar disamping kepala gue. Walkman gue namanya Jono. Bokapnya gue kasih nama Bono. Tapi Bono udah wafat bulan lalu, jatuh dari lantai tiga dorm gue.  Itu baru Bono, keinget kakek si Jono, tiga tahun lalu lebih sadis, wafat dihantam mobil nyokap. Riwayat walkman gue, nggak pernah wafat degan cakep. Jadi teori “Tidak ada yang abadi. bener banget. Bahkan, benda matipun bisa lebih nggak bernyawa.

Walkman gue nggak pernah protes gue puter dari malem sampe pagi. Padahal playlistnya cuma lima belas lagu, tapi nggak tau kenapa gue enjoy aja dengan lagu-lagu itu. Lagu-lagu yang nggak update, norak dan nggak berkembang. Dan gue percaya lima belas lagu itu adalah soundtrack hidup gue. 

“Jane, gue berenang dulu, jangan lupa bersihin kamar.”
“What the…? Oh, no Rem, lo otoriter banget sih!”
“Just do it, gerak dikit dong.” Remi tersenyum dan brak, ya, dia sudah menutup pintu.
“Oh, shit. Ini minggu dan gue….”

Ini minggu pagi, tapi hujan maksa penghuni dorm berbalut selimut, lampu lorong dorm juga masih dipaksa gunain aliran listrik terus-menerus. Dan yeah absolutely, ini maksa gue mengurung diri sendirian di dorm. Masih bertahan dengan gaya ngulet di kasur dan walkman masih berputar. Gue putusin untuk pake ini otak berfikir sedikit di minggu pagi. Satu jam, dua jam berlalu, dan akhirnya tiga jam berlalu masih nggak ada yang bisa gue fikirin.

“Oke, Jane, elo nggak bisa sia-siain minggu pagi ini.” Sambil ngangkat selimut dan ngencengin walkman, gue mulai bersihin kamar yang dihuni gue dan Remi.

Remi, cewek berambut pirang panjang sebahu. Dengan kulit putih kemerah-merahan, bibir asli mungil, dan bola mata coklat tajam yang nggak kan pernah bisa berpaling dari tatapan tajamnya. Itu dia senjata Remi dengan tatapan menyelidik mengungkap tabir hidup gue. Ya, Remi, 17 tahun dengan mantan pacar segudang, dan rekor terlama menyandang status jomblo selama tiga hari. Kita sahabatan dari sekolah dasar sampai sekarang, jadi baik burunya gue, Remi tau bener. Dan kita adalah couple beauty and beast. Bayangin aja, gue yang tinggi 160 cm, sangat kurus mendekati rapuh,  dengan kulit sawo matang, gigi gingsul, dan rambut ikal selalu diikat harus jalan dengan pengguna highheels setinggi 7 cm, dan gue sendiri pakai sneakers dengan warna tali nggak pernah sama. Gue penggila kemeja dan celana jeans yang tampak seperti jemuran berjalan, sedang Remi disamping gue, adalah penggila rok mini dengan blazer bewarna soft.  Faktanya, gue nggak bisa jadi seperfect Remi yang mencintai olahrga sedang gue mencintai ngemil  dan pasanganya, tidur. Dan fakta yang tidak pernah berubah adalah status gue jomblo belum pernah usai.

Tiba-tiba hape jadul gue, bunyi. Dan dengan mudah gue tebak ini pasti Remi yang minta gue bersihin sarang fotonya. Dan tebakan gue bener.

Hello, dear. Happy Sunday morning, jangan lupa bersihin sudut kamar. Foto diujung, gue rasa mulai banyak debu. Just clean it. And don’t forget to breakfast first, don’t eat too much.
-Your Sweetheart, Doremi-

“Oh, how dare you send such email to me, Rem?”. Remi cewek paling higenies sepajang zaman, nggak bakal biarin satu butir debu nempel pada benda sekecil apapun di kamar, tepatnya foto-foto dia bareng segudang mantannya. Dia korektor foto mantannya sendiri. Dan gue bilang itu adalah hal paling bodoh yang dia lakukan. Dan bodohnya gue, nurut sama Remi. And finally, this Sunday morning I just clean her stupid photos. Dan ketika gue bersihin foto-foto Remi, otak gue mulai berfikir.

 “Oh, Jane, how long has it been? Berapa lama elo ngejomblo?”

Ya, jomblo sepertinya adalah kutukan yang Tuhan beri untuk gue. Oh, God why You give me this way? Gue sendiri nggak pernah keberatan dengan status jomblo, yang bikin gue berat adalah ketika orang awam bertanya, “Kenapa jomblo? Elo betah sendiri segitu lamanya? Jangan-jangan elo udah nggak ngeh sama cowok. Elo nggak pengen apa ada yang ngucapin Good night, Have a nice dream, Hey, girl I miss you so bad, or Good morning just stay here with me? Atau emang nggak ada yang mau sama elo?” Kalo udah disuguhin rentetan pertanyaan itu, gue harus jelasin dari awal bahwa gue jomblo baik-baik aja, gue masih tertarik sama cowok, dan siapa sih yang nggak pengen diucapin rentetan kata tadi. Gue pengen, dan ketika gue pengen, gue bisa nyambet siapa aja, karena jomblo itu bukan nasib. Jomblo is choice.
***
Jomblo is choice, pernah suatu waktu gue milih untuk nggak ngejomblo. Dan akhirnya, gue mulai dengan bermain di dunia maya. Such as facebook, twitter, omegle, and blog. Dan berhubung gue adalah imajinator handal, gue suka nongol di blog dan alhasil menulis banyak cerita random. Boro-boro ada yang ngelike blog gue, ada yang mampir aja mustahil. Dan hingga tiba saatnya Tuhan memeberikan jalannya untuk mempertemukan gue dengan anymous. “Keep writing ya, your pure story is big miracle from God.”-anymous. Anymous adalah seseorang yang gue tekanin dia maya, dia adalah angin segar bagi blog gue. Dan menurut Remi, kekaguman atau hubungan melalui dunia maya tidak akan pernah berhasil.
Oh, no no no. God gives His way. And what? Di Gmail gue ada inbox, dari alamat email yang nggak gue kenal.

From       : Josh_Nasution@gmail.com
To            : Jane_Andina_Putri@gmail.com
Subject   : Nope
Hello, Jane. Gue Josh, gue anymous waktu itu di blog lo. Gue rasa tulisan lo bikin candu. Let’s chatching up, let’s share your story.
-JN-

From       : Jane_Andina_Putri@gmail.com
To            : Josh_Nasution@gmail.com
Subject   : Nope
Hai, orang asing. Hai, anymous. Oh, Hai, Josh.  Candu? Don’t give bulshit words like that. Tulisan dari imajinator handal, yang terjebak dalam ketidaktahuan mimpinya. Ajakan lo buat chatching up, let’s do it. Not bad idea, I think.
-JA-

Berawal dari surat elektronik, gue mulai chatching up dengan Josh, mulai jadi pecandu dunia maya. Gue dan Josh just enjoy this way. Josh nggak pernah nuntut kita janjian di suatu tempat. Dan gue juga cukup dengan keadaan ini. Josh mulai bercerita tentang mimpinya sebagai ilmuan. Obsesinya mendalami atom dan bagiannya, mulai ngebawa gue hanyut pada keindahan teori-teori kuantum. Josh bilang ke gue, bagian terkecil partikel adalah atom. Dia adalah bagian paling mandiri dan pembuktian  atas penciptaan Tuhan pada partikel yang lebih besar. Josh juga cerita alasan dia mendalami atom adalah pencarian jati diri. Jati diri? Jati diri tentang kepercayaan, entah Ketuhanan, Keilmuan, dan Lingkungan.

Josh, Josh, Josh, Josh Nasution. Nama yang berbulan-bulan nempel di inbox gmail gue. Gue percaya ketika kita bertemu dengan seseorang yang bisa ngebuat kita berbagi cerita hingga lupa waktu, just keep him. Dan yeah, welcome to my jungle, Josh! Josh paling bisa nenangin gue yang mulai panik karena nggak punya mimpi. Gue yang selalu bertanya-tanya. “Gimana kalo tiba saat gue harus ngejar cita-cita, dan gue masih belum punya mimpi? Gimana ntar kalo gue udah kerja ternyata itu nggak sesuai dengan mimpi gue? Atau sampai mati gue nggak punya mimpi dan akhirnya gue hidup dengan zona aman gue?”. Dan Josh selalu bilang, “Ketidaktahuanmu itu yang mungkin akan membawamu pada mimpimu. Dan nggak setiap ketidaktahuan adalah kebodohan, bisa jadi ketidaktahuan adalah bentuk keindahan.” Obrolan gue dan Josh mulai dari yang penting sampai tidak penting, menjadi topic yang nggak pernah habis untuk dibahas. Meski ada keheningan diantara kita, gue dan Josh menganggap kita saling berbicara tanpa harus mencari-cari apa yang akan kami bicarakan. Tiap hari kami cathching up dan akhirnya, kami jadian. Ya, gue udah nggak ngejomblo lagi.

“Oh, hell! Hello, Jane. Elo belom pernah ketemu sama dia dan elo uda nerima dia? Crazy!”, Remi melotot ngeliat email jadian gue dengan Josh.
 “Oh, come on, Rem. Jadian nggak harus ketemuan kan? Jangan kaku gitu dong. Buktinya banyak yang happy ending lewat dunia maya, akhirnya mereka menikah and have a good life together.”
“Banyak yang happy ending, nggak menutup kemungkinan banyak juga yang sad ending kan?”
“Yeah, maybe you right. I hope our love is the kind that is quiet on the outside but loud on the inside.”
“Dear, just meet him. And don’t life at bulshit world.”
“It’s real, Rem. I know that I’m the best imajinator, but…”
“Just meet him, Jane. It’s difficult to you?”

It’s difficult to me? Sebenernya enggak sulit untuk ketemu dengan Josh, bahkan dengan status gue yang udah jadian sama dia. Tapi entah kenapa gue belum siap aja ketemu sama dia. Gue dilanda perasaan bingung. Dan Remi terus maksa gue untuk ketemuan dengan Josh. Ini ngebuat gue nggak mau hubungin Josh beberapa hari.

Bukannya udah ada lirik “jauh di mata, dekat di hati,” jadi buat apa gue ketemu dia? Yang terpenting dalam menjalin hubungan adalah satu frekuensi hati. Iya kan? Gue mulai bermain-main dengan teori yang gue buat sendiri. Dan oh yeah, gue harus kembali pada realita, gue emang perlu bertemu, mungkin entar ada sesuatu yang nggak gue lihat sebelumnya, dan akhirnya gue bisa ngelihatnya. Mungkin?

From       : Jane_Andina_Putri@gmail.com
To            : Josh_Nasution@gmail.com
Subject   : Nope
Hello dear, I miss you so bad. Sorry, kemarin sempet lost contact. You know lah, dorm life. Yeah? Boy, let’s meet in Starbucks, tomorrow at 5 o’clock. Can you?
-JA-

From       : Josh_Nasution@gmail.com
To            : Jane_Andina_Putri@gmail.com
Subject   : Nope
Oh, hai, dear. Starbucks 5 o’clock? Okay, gue pake baju merah. Gue reservasi tempat di bangku nomor 7. I’m waiting for you..
-JN-

Ya, Starbucks 5 o’clock gue udah stand by di sana satu jam sebelumnya. Dan Josh datang, tapi dia belum ngelihat gue. Gue bingung kenapa gue cuma ngintip dia dari lantai atas, dan gue enggan turun. Dia nggak sesuai dengan yang gue harapin? Enggak, dia perfect, Josh dengan badan setinggi 170 cm, dengan wajah Rusianya yang melekat bukan laki-laki yang buruk rupa. Dan gue patut bersyukur Tuhan ngirim Josh untuk gue.

Gue mutusin balik ke dorm, dan gue cerita tentang pertemuan gue yang gagal total dengan Josh. Gue udah yakin ekspresi muka Remi saat gue cerita kejadian ini, bola matanya membelalak dan hampir keluar. Dan gue benar. Ekspresi Remi, sama persis dengan dugaan gue. Ini sama seperti prajurit yang mati sebelum berperang, alhasil gue cuma diem dan menerima dengan pasrah segala bentuk omelan Remi.

Wajar, Josh bertanya kenapa gue nggak dateng. Dan dia nerima dengan baik alasan gue yang cukup nggak masuk akal. Oh, God. Terima kasih sudah mengirim Josh buat gue.  Kami reschedule planning kami. Di tempat yang sama dan jam yang sama, gue bikin janji dengan Josh.

Josh datang dengan warna baju yang sama dan gue tetep di lantai atas ngintipin dia. Butuh waktu yang lama buat gue untuk turun ke lantai bawah. Dan akhirnya setelah 2 jam berfikir, gue putusin untuk nggak jadi pecundang. “Jane, just forward, just do this way.” Aneh, aneh, kaki gue seperti tertahan beton. Gue nggak bisa jelasin.  Ini semacam some things are the way they are and words just can’t explain.  Udah sampai di tangga terakhir, gue nggak ngelihat pundak Josh lagi. Ya, Josh menghilang. Gue sadar, saat gue sibuk nunduk nurunin tangga, Josh keluar dari Starbucks. Entah kenapa, ada perasaan lega dan ya, menyesal.
Gue balik ke dorm, dan banting badan gue ke kasur. Remi nggak tanya, dia nampak sudah yakin pertemuan gue dengan Josh gagal lagi. Dan hape jadul gue bordering. Ya, Josh nelfon gue.
“Jane?”
“Oh, hai, Josh.”
“What’s happen?”
“Nothing.”
“Oh, Jane..”….”Josh..”
“Okey, you first.”
“Sorry..”
“For what?”
“I don’t know.”
“Uhm, Jane. Sorry, gue ngerasa elo nggak pengen ketemu gue.”
“Jane…”
“I don’t know, Josh. It’s happen.”
“Yeah, I understand. The best way, nggak usah ketemu dulu deh, Jane.”
“Enggak, Josh. Besok kita ketemu ya, at the same place and time.”
“Are you okay?”
“Yeah. I’m okay.”

Josh nutup telfonnya. Dan gue pasrah, cuma mandang langit-langit kamar. Gue pengen nangis, tapi ini bener-bener di luar karakter gue. Oh, God, nggak mungkin kan gue nangis buat masalah begini doang. Kami belum pernah bertemu? Dan kenapa harus cry? Ini nggak masuk akal. Gue coba narik lagi air mata gue.
Remi nggak tahan ngeliat gue yang koleps begini. Dengan cekatan dia meluk gue. “Girl, don’t tell me why, don’t tell me how, just cry, just huge me, strong girl kan?” Ah, Remi how sweet you are, kenapa elo selalu buat hati gue luluh, Rem. Elo bener-bener playgirl sejati.

Remi maksa untuk ikut gue ketemu Josh. Dan segala keinginannya harus diturutin. Ya, Remi nemenin gue ketemu Josh. Josh dengan baju yang sama, tempat yang sama dan jam yang sama. Dan gue? Ya, tetap di lantai atas, bedanya, kali ini ada Remi. Gue mulai goyah lagi, dan gue mutusin balik ke dorm. Tapi Remi narik tangan gue dan mulai natap mata gue dengan penuh paksaan. Gue nolak tarikan Remi. “Hey, Jane. Why? Elo ngerasa nggak pantes untuk Josh?”

Ngerasa nggak pantes? Mungkin? Remi seperti baru aja ngehantam gue pake golok yang lansung nancep di jantung gue. Entah kenapa aliran darah gue lansung tercekat. “Oh, Rem.. Kenapa argument seperti itu?” ucap gue dalam hari. Gue natap Remi dengan nahan air mata gue. Remi tau, saat itu gue pengen nangis, dan ya, gue lepas genggaman Remi sekenceng-kencengnya dan lari balik ke dorm. Iya, gue ngerasa nggak pantes.  

From       : Jane_Andina_Putri@gmail.com
To            : Josh_Nasution@gmail.com
Subject   : Nope
Josh, sorry. Ya, akubilang sorry setiap waktu to you, but I can’t fix it. Ya, gue belum siap ketemu elo. Dan gue nggak siap jalani hubungan dunia maya ini.  Let me go on my own.
-JA-

From       : Josh_Nasution@gmail.com
To            : Jane_Andina_Putri@gmail.com
Subject   : Nope
Dear, Jane,  gue nggak tahu alasan elo belum siap. Okay, keep writing, keep in your happy life. Itu harapan gue. Maybe someday, I will come back and we will be two parts of the same thing. Maybe?
-JN-
***

Gue lost contact sama Josh because It easier and less painful that way. Gue nggak pernah mutusin Josh, sampai hari ini, setahun setelah Josh Nasution ngirim email itu. Nggak ada kata putus diantara kita. Karena gue nggak mau mutusin Josh, gue takut nyesel oneday. Gue cuma bilang nggak sanggup dan ya hubungan kami berakhir begitu saja.

Remi ngotot ngasih status jomblo buat gue. Layaknya jomblowan jomblowati yang lain, gue masih baik-baik saja sampai hari ini. Nggak pernah merana ngelewatin malem minggu gue di dorm. Nggak pernah kehilangan nafsu makan yang baik yang Tuhan anugrahi untuk gue.  Karena jomblo is choice. Dan gue tahu kenapa sampai sekarang gue belum lepas dari kata jomblo, gimana bisa gue dapet pasangan kalo mau ketemu gebetan aja kikuknya setengah mati? Oh, God. Salah gue apaan? Kenapa kutukannya harus semacam ini?
Hari minggu pagi sepi di dorm gue lewatin dengan bersih-bersih kamar bersama Jono, walkman gue. Dan hujan di luar masih ngehambat gue keluar kamar. Dan gue putuskan minggu pagi ini just stay in room with Jono. Dan hujan ini, “hallo Josh, hallo hujan, kamu berisik sekali, lebat sekali.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar