Kisah Random
By : Saya
“Back to you it always comes
around, back to you…” walkman putih kecil berputar disamping kepala gue.
Walkman gue namanya Jono. Bokapnya gue kasih nama Bono. Tapi Bono udah wafat
bulan lalu, jatuh dari lantai tiga dorm gue. Itu baru Bono, keinget kakek si Jono, tiga
tahun lalu lebih sadis, wafat dihantam mobil nyokap. Riwayat walkman gue, nggak
pernah wafat degan cakep. Jadi teori “Tidak ada yang abadi.” bener banget. Bahkan, benda matipun bisa lebih
nggak bernyawa.
Walkman gue nggak pernah protes gue puter
dari malem sampe pagi. Padahal playlistnya cuma lima belas lagu, tapi
nggak tau kenapa gue enjoy aja dengan lagu-lagu itu. Lagu-lagu yang
nggak update, norak dan nggak berkembang. Dan gue percaya lima belas
lagu itu adalah soundtrack hidup gue.
“Jane, gue berenang dulu, jangan lupa
bersihin kamar.”
“What the…? Oh, no Rem, lo otoriter
banget sih!”
“Just do it, gerak dikit dong.” Remi
tersenyum dan brak, ya, dia sudah menutup pintu.
“Oh, shit. Ini minggu dan gue….”
Ini minggu pagi, tapi hujan maksa penghuni
dorm berbalut selimut, lampu lorong dorm juga masih dipaksa
gunain aliran listrik terus-menerus. Dan yeah absolutely, ini maksa gue
mengurung diri sendirian di dorm. Masih bertahan dengan gaya ngulet di
kasur dan walkman masih berputar. Gue putusin untuk pake ini otak berfikir
sedikit di minggu pagi. Satu jam, dua jam berlalu, dan akhirnya tiga jam
berlalu masih nggak ada yang bisa gue fikirin.
“Oke, Jane, elo nggak bisa sia-siain
minggu pagi ini.” Sambil ngangkat selimut dan ngencengin walkman, gue mulai
bersihin kamar yang dihuni gue dan Remi.
Remi, cewek berambut pirang panjang
sebahu. Dengan kulit putih kemerah-merahan, bibir asli mungil, dan bola mata
coklat tajam yang nggak kan pernah bisa berpaling dari tatapan tajamnya. Itu
dia senjata Remi dengan tatapan menyelidik mengungkap tabir hidup gue. Ya,
Remi, 17 tahun dengan mantan pacar segudang, dan rekor terlama menyandang
status jomblo selama tiga hari. Kita sahabatan dari sekolah dasar sampai
sekarang, jadi baik burunya gue, Remi tau bener. Dan kita adalah couple
beauty and beast. Bayangin aja, gue yang tinggi 160 cm, sangat kurus
mendekati rapuh, dengan kulit sawo
matang, gigi gingsul, dan rambut ikal selalu diikat harus jalan dengan pengguna
highheels setinggi 7 cm, dan gue sendiri pakai sneakers dengan warna
tali nggak pernah sama. Gue penggila kemeja dan celana jeans yang tampak
seperti jemuran berjalan, sedang Remi disamping gue, adalah penggila rok mini
dengan blazer bewarna soft. Faktanya, gue nggak bisa jadi seperfect
Remi yang mencintai olahrga sedang gue mencintai ngemil dan pasanganya, tidur. Dan fakta yang tidak
pernah berubah adalah status gue jomblo belum pernah usai.
Tiba-tiba hape jadul gue, bunyi. Dan
dengan mudah gue tebak ini pasti Remi yang minta gue bersihin sarang fotonya.
Dan tebakan gue bener.
Hello, dear. Happy Sunday
morning, jangan lupa bersihin sudut kamar. Foto diujung, gue rasa mulai banyak
debu. Just clean it. And don’t forget to breakfast first, don’t eat too much.
-Your
Sweetheart, Doremi-
“Oh, how dare you send such email to
me, Rem?”. Remi cewek paling higenies sepajang zaman, nggak bakal biarin satu
butir debu nempel pada benda sekecil apapun di kamar, tepatnya foto-foto dia
bareng segudang mantannya. Dia korektor foto mantannya sendiri. Dan gue bilang
itu adalah hal paling bodoh yang dia lakukan. Dan bodohnya gue, nurut sama
Remi. And finally, this Sunday morning I just clean her stupid photos.
Dan ketika gue bersihin foto-foto Remi, otak gue mulai berfikir.
“Oh, Jane, how long has it been? Berapa lama
elo ngejomblo?”
Ya, jomblo sepertinya adalah kutukan
yang Tuhan beri untuk gue. Oh, God why You give me this way? Gue sendiri
nggak pernah keberatan dengan status jomblo, yang bikin gue berat adalah ketika
orang awam bertanya, “Kenapa jomblo? Elo betah sendiri segitu lamanya?
Jangan-jangan elo udah nggak ngeh sama cowok. Elo nggak pengen apa ada yang
ngucapin Good night, Have a nice dream, Hey, girl I miss you so bad, or Good
morning just stay here with me? Atau emang nggak ada yang mau sama
elo?” Kalo udah disuguhin rentetan pertanyaan itu, gue harus jelasin dari
awal bahwa gue jomblo baik-baik aja, gue masih tertarik sama cowok, dan siapa
sih yang nggak pengen diucapin rentetan kata tadi. Gue pengen, dan ketika gue
pengen, gue bisa nyambet siapa aja, karena jomblo itu bukan nasib. Jomblo is
choice.
***
Jomblo is choice, pernah suatu waktu gue milih untuk
nggak ngejomblo. Dan akhirnya, gue mulai dengan bermain di dunia maya. Such as facebook,
twitter, omegle, and blog. Dan berhubung gue adalah imajinator handal, gue
suka nongol di blog dan alhasil menulis banyak cerita random. Boro-boro ada
yang ngelike blog gue, ada yang mampir aja mustahil. Dan hingga tiba saatnya
Tuhan memeberikan jalannya untuk mempertemukan gue dengan anymous. “Keep
writing ya, your pure story is big miracle from God.”-anymous. Anymous
adalah seseorang yang gue tekanin dia maya, dia adalah angin segar bagi
blog gue. Dan menurut Remi, kekaguman atau hubungan melalui dunia maya tidak
akan pernah berhasil.
Oh, no no no. God gives His way. And
what? Di Gmail gue
ada inbox, dari alamat email yang nggak gue kenal.
Subject : Nope
Hello, Jane. Gue Josh, gue anymous
waktu itu di blog lo. Gue rasa tulisan lo bikin candu. Let’s chatching up,
let’s share your story.
-JN-
Subject : Nope
Hai, orang asing. Hai, anymous.
Oh, Hai, Josh. Candu? Don’t give bulshit
words like that. Tulisan dari imajinator handal, yang terjebak dalam
ketidaktahuan mimpinya. Ajakan lo buat chatching up, let’s do it. Not bad idea,
I think.
-JA-
Berawal dari surat elektronik, gue
mulai chatching up dengan Josh, mulai jadi pecandu dunia maya. Gue dan
Josh just enjoy this way. Josh nggak pernah nuntut kita janjian di suatu
tempat. Dan gue juga cukup dengan keadaan ini. Josh mulai bercerita tentang
mimpinya sebagai ilmuan. Obsesinya mendalami atom dan bagiannya, mulai ngebawa
gue hanyut pada keindahan teori-teori kuantum. Josh bilang ke gue, bagian terkecil
partikel adalah atom. Dia adalah bagian paling mandiri dan pembuktian atas penciptaan Tuhan pada partikel yang
lebih besar. Josh juga cerita alasan dia mendalami atom adalah pencarian jati
diri. Jati diri? Jati diri tentang kepercayaan, entah Ketuhanan, Keilmuan, dan
Lingkungan.
Josh, Josh, Josh, Josh Nasution. Nama yang
berbulan-bulan nempel di inbox gmail gue. Gue percaya ketika kita
bertemu dengan seseorang yang bisa ngebuat kita berbagi cerita hingga lupa
waktu, just keep him. Dan yeah, welcome to my jungle, Josh! Josh
paling bisa nenangin gue yang mulai panik karena nggak punya mimpi. Gue yang
selalu bertanya-tanya. “Gimana kalo tiba saat gue harus ngejar cita-cita,
dan gue masih belum punya mimpi? Gimana ntar kalo gue udah kerja ternyata itu
nggak sesuai dengan mimpi gue? Atau sampai mati gue nggak punya mimpi dan
akhirnya gue hidup dengan zona aman gue?”. Dan Josh selalu bilang, “Ketidaktahuanmu
itu yang mungkin akan membawamu pada mimpimu. Dan nggak setiap ketidaktahuan
adalah kebodohan, bisa jadi ketidaktahuan adalah bentuk keindahan.” Obrolan
gue dan Josh mulai dari yang penting sampai tidak penting, menjadi topic yang
nggak pernah habis untuk dibahas. Meski ada keheningan diantara kita, gue dan
Josh menganggap kita saling berbicara tanpa harus mencari-cari apa yang akan
kami bicarakan. Tiap hari kami cathching up dan akhirnya, kami jadian.
Ya, gue udah nggak ngejomblo lagi.
“Oh, hell! Hello, Jane. Elo belom
pernah ketemu sama dia dan elo uda nerima dia? Crazy!”, Remi melotot ngeliat
email jadian gue dengan Josh.
“Oh, come on, Rem. Jadian nggak harus
ketemuan kan? Jangan kaku gitu dong. Buktinya banyak yang happy ending lewat
dunia maya, akhirnya mereka menikah and have a good life together.”
“Banyak yang happy ending, nggak
menutup kemungkinan banyak juga yang sad ending kan?”
“Yeah, maybe you right. I hope our
love is the kind that is quiet on the outside but loud on the inside.”
“Dear, just meet him. And don’t life
at bulshit world.”
“It’s real, Rem. I know that I’m the
best imajinator, but…”
“Just meet him, Jane. It’s difficult
to you?”
It’s difficult to me? Sebenernya enggak sulit untuk ketemu
dengan Josh, bahkan dengan status gue yang udah jadian sama dia. Tapi entah
kenapa gue belum siap aja ketemu sama dia. Gue dilanda perasaan bingung. Dan Remi
terus maksa gue untuk ketemuan dengan Josh. Ini ngebuat gue nggak mau hubungin
Josh beberapa hari.
Bukannya udah ada lirik “jauh di
mata, dekat di hati,” jadi buat apa gue ketemu dia? Yang terpenting dalam
menjalin hubungan adalah satu frekuensi hati. Iya kan? Gue mulai bermain-main
dengan teori yang gue buat sendiri. Dan oh yeah, gue harus kembali pada
realita, gue emang perlu bertemu, mungkin entar ada sesuatu yang nggak gue
lihat sebelumnya, dan akhirnya gue bisa ngelihatnya. Mungkin?
Subject : Nope
Hello dear, I miss you so bad. Sorry,
kemarin sempet lost contact. You know lah, dorm life. Yeah? Boy, let’s meet in
Starbucks, tomorrow at 5 o’clock. Can you?
-JA-
Subject : Nope
Oh, hai, dear. Starbucks 5 o’clock?
Okay, gue pake baju merah. Gue reservasi tempat di bangku nomor 7. I’m waiting
for you..
-JN-
Ya, Starbucks 5 o’clock gue
udah stand by di sana satu jam sebelumnya. Dan Josh datang, tapi dia belum
ngelihat gue. Gue bingung kenapa gue cuma ngintip dia dari lantai atas, dan gue
enggan turun. Dia nggak sesuai dengan yang gue harapin? Enggak, dia perfect,
Josh dengan badan setinggi 170 cm, dengan wajah Rusianya yang melekat bukan
laki-laki yang buruk rupa. Dan gue patut bersyukur Tuhan ngirim Josh untuk gue.
Gue mutusin balik ke dorm, dan
gue cerita tentang pertemuan gue yang gagal total dengan Josh. Gue udah yakin
ekspresi muka Remi saat gue cerita kejadian ini, bola matanya membelalak dan
hampir keluar. Dan gue benar. Ekspresi Remi, sama persis dengan dugaan gue. Ini
sama seperti prajurit yang mati sebelum berperang, alhasil gue cuma diem dan
menerima dengan pasrah segala bentuk omelan Remi.
Wajar, Josh bertanya kenapa gue nggak
dateng. Dan dia nerima dengan baik alasan gue yang cukup nggak masuk akal. Oh,
God. Terima kasih sudah mengirim Josh buat gue. Kami reschedule planning kami. Di
tempat yang sama dan jam yang sama, gue bikin janji dengan Josh.
Josh datang dengan warna baju yang
sama dan gue tetep di lantai atas ngintipin dia. Butuh waktu yang lama buat gue
untuk turun ke lantai bawah. Dan akhirnya setelah 2 jam berfikir, gue putusin
untuk nggak jadi pecundang. “Jane, just forward, just do this way.”
Aneh, aneh, kaki gue seperti tertahan beton. Gue nggak bisa jelasin. Ini semacam some things are the way they
are and words just can’t explain. Udah sampai di tangga terakhir, gue nggak ngelihat pundak Josh lagi. Ya,
Josh menghilang. Gue sadar, saat gue sibuk nunduk nurunin tangga, Josh keluar
dari Starbucks. Entah kenapa, ada perasaan lega dan ya, menyesal.
Gue balik ke dorm, dan banting
badan gue ke kasur. Remi nggak tanya, dia nampak sudah yakin pertemuan gue
dengan Josh gagal lagi. Dan hape jadul gue bordering. Ya, Josh nelfon gue.
“Jane?”
“Oh, hai, Josh.”
“What’s happen?”
“Nothing.”
“Oh, Jane..”….”Josh..”
“Okey, you first.”
“Sorry..”
“For what?”
“I don’t know.”
“Uhm, Jane. Sorry, gue ngerasa elo
nggak pengen ketemu gue.”
“Jane…”
“I don’t know, Josh. It’s happen.”
“Yeah, I understand. The best way,
nggak usah ketemu dulu deh, Jane.”
“Enggak, Josh. Besok kita ketemu ya,
at the same place and time.”
“Are you okay?”
“Yeah. I’m okay.”
Josh nutup telfonnya. Dan gue pasrah, cuma
mandang langit-langit kamar. Gue pengen nangis, tapi ini bener-bener di luar
karakter gue. Oh, God, nggak mungkin kan gue nangis buat masalah begini
doang. Kami belum pernah bertemu? Dan kenapa harus cry? Ini nggak
masuk akal. Gue coba narik lagi air mata gue.
Remi nggak tahan ngeliat gue yang
koleps begini. Dengan cekatan dia meluk gue. “Girl, don’t tell me why, don’t
tell me how, just cry, just huge me, strong girl kan?” Ah, Remi how
sweet you are, kenapa elo selalu buat hati gue luluh, Rem. Elo bener-bener playgirl
sejati.
Remi maksa untuk ikut gue ketemu Josh.
Dan segala keinginannya harus diturutin. Ya, Remi nemenin gue ketemu Josh. Josh
dengan baju yang sama, tempat yang sama dan jam yang sama. Dan gue? Ya, tetap
di lantai atas, bedanya, kali ini ada Remi. Gue mulai goyah lagi, dan gue
mutusin balik ke dorm. Tapi Remi narik tangan gue dan mulai natap mata
gue dengan penuh paksaan. Gue nolak tarikan Remi. “Hey, Jane. Why? Elo ngerasa
nggak pantes untuk Josh?”
Ngerasa nggak pantes? Mungkin? Remi seperti baru aja
ngehantam gue pake golok yang lansung nancep di jantung gue. Entah kenapa
aliran darah gue lansung tercekat. “Oh, Rem.. Kenapa argument seperti itu?”
ucap gue dalam hari. Gue natap Remi dengan nahan air mata gue. Remi tau, saat
itu gue pengen nangis, dan ya, gue lepas genggaman Remi sekenceng-kencengnya dan
lari balik ke dorm. Iya, gue ngerasa nggak pantes.
Subject : Nope
Josh, sorry. Ya, akubilang sorry setiap waktu to you, but I can’t fix it. Ya, gue belum siap ketemu elo. Dan gue nggak
siap jalani hubungan dunia maya ini. Let
me go on my own.
-JA-
Subject : Nope
Dear, Jane, gue nggak tahu alasan elo belum siap. Okay,
keep writing, keep in your happy life. Itu harapan gue. Maybe someday, I will
come back and we will be two parts of the same thing. Maybe?
-JN-
***
Gue lost contact sama Josh
because It easier and less painful that way. Gue nggak pernah mutusin
Josh, sampai hari ini, setahun setelah Josh Nasution ngirim email itu. Nggak
ada kata putus diantara kita. Karena gue nggak mau mutusin Josh, gue takut
nyesel oneday. Gue cuma bilang nggak sanggup dan ya hubungan
kami berakhir begitu saja.
Remi ngotot ngasih status jomblo buat
gue. Layaknya jomblowan jomblowati yang lain, gue masih baik-baik saja sampai
hari ini. Nggak pernah merana ngelewatin malem minggu gue di dorm. Nggak
pernah kehilangan nafsu makan yang baik yang Tuhan anugrahi untuk gue. Karena jomblo is choice. Dan gue tahu
kenapa sampai sekarang gue belum lepas dari kata jomblo, gimana bisa gue dapet pasangan
kalo mau ketemu gebetan aja kikuknya setengah mati? Oh, God. Salah gue
apaan? Kenapa kutukannya harus semacam ini?
Hari minggu pagi sepi di dorm gue lewatin
dengan bersih-bersih kamar bersama Jono, walkman gue. Dan hujan di luar masih
ngehambat gue keluar kamar. Dan gue putuskan minggu pagi ini just stay in
room with Jono. Dan hujan ini, “hallo Josh, hallo hujan, kamu
berisik sekali, lebat sekali.”