Pages

Kamis, 19 Juni 2014

-




Lagi bersihin laptop tadi siang, tiba-tiba, nemuin tulisan saya sendiri yang belum sempet keposting. Ceritanya nulis ini waktu kelas X. Engga kebayang tulisan saya ternyata begini.

Jodoh

Judulnya aja udah berkesan angker. Engga tau kenapa tiba-tiba saya ingin menuliskan postingan tentang jodoh. Iya, mungkin judul diatas akan menjadi topic mistis disaat saya berumur 20 tahun ke atas. Bahkan jodoh saya telah lama menjadi sosok misterius. 

Iya, tiap orang telah memiliki jodohnya masing-masing. Pernyataan ini mampu menenangkan siapapun yang telah berputus asa untuk menemukan jodohnya. Saya setuju, karena jelas dalam kitab-Nya Allah telah mengatur manusia di dunia ini berpasang-pasangan. Tetapi kita tidak akan pernah tau jodoh kita sampai kita hidup dengan seseorang itu. 

Memang engga ada yang jelas untuk kita. Dengan siapa kita berjodoh hingga akhirnya kita telah hidup dengan orang itu? Lalu bagaimana dengan orang-orang yang bercerai setelah mereka hidup 10 tahun ke atas bersama-sama? Entahlah.

Saya rasa, ketika perempuan telah dikhitbah oleh seorang pria. Hal itu merupakan titik awal dari kehidupan perempuan itu. Bagaimana dia harus memutuskan, menerima atau menolak? Merupakan keputusan yang harus dia ambil dengan bijak. Jangan terburu-buru. Salat istikharah bisa menjadi solusi. Karena dengan satu kata penerimaan atau penolakan, hal itu yang akan menjadi titik awal dia menjalani kehidupan selanjutnya 
hingga akhir hayat.

Seorang perempuan harus bisa memilih siapa imam yang pantas untuknya. Seorang imam yang mampu membimbingnya pada jalan Allah dan memimpinya untuk menuju syurga Allah. Ketaatan pada agama Allah adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh calon imam. Jika seorang imam tidak memiliki keimanan yang kuat, bagaimana dia akan membimbing istri dan anak-anaknya kelak? Bukankah Rasulullah telah menjelaskan bahwa dalam memilih seorang pasangan, agama adalah ukuran paling utama.

Sebagai manusia yang meyakini Allah dan Rasul, wajib bagi kita untuk mengikuti perintah Allah dan Rasul. Lalu apakah kita hanya menganggap ukuran agama sebagai satu-satunya parameter dalam memilih calon imam?

Saya rasa, ketaatan kepada agama merupakan hal utama yang harus dijadikan parameter. Selain itu, ada hal-hal yang harus diperhatikan. Kesiapan lahir dan batin untuk menerima calon imam adalah hal yang penting. Jika perempuan telah memutuskan untuk menerima khitbah oleh seorang pria, maka perempuan harus benar-benar bisa member kasih sayang yang tulus. Jika tidak ada cinta dan kasih sayang, bagaimana perempuan bisa berbakti dan taat kepada sang imam?

Kesanggpan untuk mencintai dan berbagi kasih menurut saya adalah hal yang penting dalam membangun pondasi rumah tangga. Karena pernikahan adalah ibadah. Bagaiamana bisa kita melakukan ibadah namun nurani kita tersiksa?

Sebelum memberikan jawaban atas khitbah seorang laki-laki pada perempuan, perempuan harus memikirkan segala aspek. Jangan terburu-buru mengambil keputusan. Segala sesuatu yang dilakukan terburu-buru adalah hal yang tidak baik. Ketika seorang perempuan telah memberikan kepercayaan kepada seorang laki-laki, maka kewajiban keduanya adalah menjalankan kewajiban tersebut dengan amanah. Membangun rumah tangga dengan landasan Al-Qur’an dan Hadist, menyiapkan kader-kader umat beragama untuk generasi selanjutnya.

Jangan sampai, rumah tangga yang telah diniatkan semata-mata ibadah kepada Allah melenceng dari jalan yang telah dianjurkan. Atau bahkan memutuskan hubungan. Memang benar, memutuskan hubungan rumah tangga diperbolehkan dalam Islam, namun, bukankah hal itu adalah sesuatu yang paling dibenci oleh Allah? Jangan sampai kita melakukan sesuatu yang dibenci Allah. Karena dalam kehidupan ini, tidak ada yang kita cari selain Ridha Allah.

2 komentar: